Saat itu, kejayaan Majapahit juga mulai berangsur redup. Nun... di Katumenggungan Wilwatikta yang tenang serta damai, pada pagi nan cerah itu, sang Tumenggung yang dikaruniai sepasang anak yang mulai beranjak dewasa, yaitu Raden Sahid serta Dewi Rasa Wulan memanggil keduanya untuk menghadap.
Sesudah keduanya menghaturkan sembah bakti, sang Tumenggung juga berkata ; " Sahid, saat ini engkau telah dewasa. Mulai saat ini, engkau mesti bersiap-siap untuk menukar apabila saya telah tidak dapat lagi melakukannya. "
" Pada awal mulanya, saya serta ibumu mengharapkan supaya engkau selekasnya menikah. Katakanlah, gadis mana yang sampai kini sudah jadi tambatan hatimu. Kelak saya yang bakal melamarkan untukmu, " paparnya.
Raden Sahid yang duduk bersila dengan takzim serta kepala menunduk juga sebagai sinyal hormat pada orangtua, cuma diam membisu. Hatinya betul-betul bimbang. Bagaimana tidak, sejatinya, didalam hati ia menampik untuk selekasnya menikah. Namun apa daya, bila menampik, ia takut bikin ke-2 orang tuanya kecewa.
Walau sebenarnya dalam hati yang sangatlah dalam, beliau menggerutu, belum siap pikirkan perihal makna suatu mahligai rumah tangga. Di tengah-tengah situasi yang mencekam itu, mendadak terdengar nada Tumenggung Wilwatikta memecah kesunyian ; " Kenapa engkau diam Sahid? "
" Apakah engkau menampik permintaanku? " Sambungnya cepat.
" Ampun... ayahanda, " sahtu Raden Sahid dengan terbata-bata, " tidak ada maksud hamba untuk menampiknya. "
" Namun kenapa engkau diam serta tak selekasnya menjawab, " potong sang bapak dengan cepat.
" Ampun... ayahanda, " jawab Raden sahid dengan santun, " hingga sekarang ini, hamba masih tetap menimbang-nimbang, wanita mana yang pas untuk jadi menantu ayahanda. "
Tumenggung Wilwatikta juga menarik napas lega, " Baiklah bila demikian. Pikirkan dengan masak-masak, serta hati-hati dalam memastikan jodohmu. "
Lantaran dikira cukup, jadi, Raden Sahid juga diperbolehkan untuk undur diri. Serta pada Dewi Rasa Wulan, sang bapak cuma berpesan supaya dianya bersiap-siap untuk terima pinangan dari pemuda yang telah diputuskan ke-2 orang tuanya.
Tanpa ada berani menyanggah, Rasa Wulan juga cuma diam... lantas, ia juga undur diri dari hadapan ayahandanya.
Tak seperti umumnya, keceriaan yang umum dipertunjukkan keduanya di kadipaten mendadak hilang. Sampai malam mendekati, Raden Sahid masih tetap disungkupi kegelisahan. Bahkan juga, matanya juga tidak dapat dipejamkan walaupun malam selalu merangkak. Hatinya teramat sedih...
" Untuk menghindar dari paksaan bapak, sangkanya saya mesti pergi dari sini, " sekian bisik hatinya. Serta benar, bersamaan dengan malam yang selalu merangkak serta seisi katumenggungan tengah terbuai dalam mimpi indahnya semasing, diam-diam Raden Sahid juga ke luar dari kamarnya serta pergi....
Paginya, ketika Dewi Rasa Wulan tahu bahwa kakaknya tidak ada di kamarnya, sontak, hatinya juga cemas. Dengan harap-harap kuatir ia juga mencari sang kakak di beragam penjuru katumenggungan. Namun apa daya, sang kakak seakan lenyap bak ditelan bumi. Dewi Rasa Wulan juga meyakini, sang kakak sudah pergi meninggalkan katumenggungan tanpa ada meminta izin pada ke-2 orang tuanya.
" Kenapa Kangmas Sahid tak mengajakku, " bisik hati Rasa Wulan, " walau sebenarnya saya juga punya maksud pergi supaya terlepas dari paksaan bapak. " Dengan langkah gontai, Dewi Rasa Wulan juga masuk ke kamarnya untuk mempersiapkan baju serta segera menyusul kakaknya.
Saat selalu berlalu. Malamnya, barulah seisi katumenggungan ramai. Mereka baru sadar bila Raden Sahid serta Rasa Wulan sudah pergi tanpa ada sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa ke-2 anaknya pergi, Tumenggung Wilatikta juga terperanjat. Dengan cepat ia memerintahkan semua telik sandi katumenggungan untuk menelisik kehadiran ke-2 anaknya itu.
Namun apa daya, keduanya seakan lenyap ditelan bumi. Hari bergangti minggu serta minggu bertukar bln. bahkan juga bln. bertukaru th., namun, kehadiran keduanya tetap harus tak terendus.
Berbilang saat, dalam pengembaraannya, Raden Sahid alami pahit serta getirnya penderitaan dan hadapi beragam jenis cobaan sampai di masa datang ia di kenal juga sebagai sosok waliyullah yang sangatlah masyhur, Khanjeng Sunan Kalijaga — melalui tuntunan seseorang Waliyulloh A’dzom Sunan Bonang, yang diteruskan pada Sunan Gunung Jati, hingga selanjutnya memperoleh derajat kewalian dengan cara prima melalui talqin Nabiyulloh Hidir AS, sampai pada akhirnya beliau di ambil mantu serta jadikan tangan kanan paling setia oleh Sunan Gunung Jati Cirebon.
Tidak jauh tidak sama dengan sang kakak, didalam pengembaraannya, sesudah berbilang th. tak juga sukses temukan Raden Sahid, pada akhirnya, Dewi Rasa Wulan juga bertapa ngidang (bertapa seperti kijang, hidup berbarengan kawanan kijang serta kerjakan apa yang ditangani oleh kijang, termasuk juga mengonsumsi makanan yang umum dikonsumsi oleh kijang-Jw) di dalam rimba Glagahwangi (perbatasan Pasundan, Jawa Barat).
Didalam rimba nan lebat serta angker itu ada suatu danau bernama Sendhang Beji, yang ditepiannya tumbuh dengan subur sebatang pohon besar yang batangnya menjorok serta menaungi permukaannya. Serta tidak ada yang menganggap bila pada satu diantara cabangnya yang menjorok ke atas permukaan Sendhang Beji itu ada seorang yang tengah bertapa ngalong (bertapa seperti kalong, bergantungan pada cabang pohon-Jw). Ya... sosok linuwih itu tidak lain yaitu Syekh Maulana Mahgribi.
Saat selalu berlalu. Serta disuatu nan terik, Rasa Wulan juga mendatangi Sendhang Beji. Ia punya niat mau mandi, untuk beri kesegaran tubuhnya. Ia sekalipun tidak tahu bila diatas permukaan air sendhang itu ada seseorang laki-laki yang tengah bertapa — serta tanpa ada malu-malu Rasa Wulan juga buka semua baju penutup badannya. Dalam situasi tanpa ada sehelai benang juga, dengan perlahan ia jalan hampiri danau serta mandi di Sendhang Beji. Kesejukan air danau bikin badannya jadi merasa sangatlah nyaman.
Disamping itu, Syekh Maulana Mahgribi yang tengah bertapa pas diatas danau melihat kemolekan badan Rasa Wulan dengan penuh pesona. Lihat kecantikan serta kesintalan badannya, sontak, birahi Syekh Maulana Mahgribi juga bangkit sampai meneteskan bibit hidup (sperma-Jw) serta jatuh pas di atas tempat Rasa Wulan mandi.
Lantaran momen itu, jadi, Rasa Wulan juga hamil. Pada akhirnya, Rasa Wulan juga tahu bila laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon diatas danau tersebut yang mengakibatkan kehamilannya.
" Kenapa engkau tega berbuat sekian? " Memprotes Rasa Wulan sembari menunjuk sengit ke arah Syekh Maulana Mahgribi. " Kenapa engkau menghamiliki? "
Syekh Maulana Mahgribi cuma diam. Ia seolah tak mendengar apa-apa.
" Lantaran sudah berbuat, jadi, engkau mesti bertanggungjawab! " Sergah Rasa Wulan makin sengit.
" Kenapa engkau menuduhku? " Bertanya Syekh Maulana Mahgribi dengan sabar.
" Saksikan! Saya hamil, " sahut Rasa Wulan.
" Engkau meyakini bila saya yang menghamilimu? " Bertanya Syekh Maulana Mahgribi meminta ketegasan.
" Ya. Saya meyakini! " Sahut Rasa Wulan tegas.
" Lantaran ditempat ini tak ada laki-laki lain, jadi, engkaulah yang kutuduh menghamiliku, " paparnya dengan berapi-api.
Untuk menghindari diri dari tuduhan itu, Syekh Maulana Mahgribi juga segera mencabut kemaluannya — lalu menyingkapkan sarungnya serta tunjukkan pada Rasa Wulan bahwa ia tak mempunyai kemaluan. Syekh Maulana Mahgribi juga berujar, " Saksikan, saya bukanlah laki-laki. Jadi mana mungkin saja saya menghamilimu. "
" Bagaimanakah juga saya terus menuduhmu yang menghamiliku " kata Rasa Wulan, " karenanya, engkau mesti bertanggungjawab pada kehidupan bayi yang tengah kukandung ini. "
" Saya yang perlu bertanggungjawab? " Bertanya Syekh Maulana Mahgribi.
" Ya. Engkau yang perlu bertanggungjawab, " sahut Rasa Wulan, " mengasuh serta memeliharanya nantinya sesudah lahir. "
Syekh Maulana Mahgribi tidak bisa mengelak. Serta pada waktunya, sesudah anak yang dikandung oleh Rasa Wulan itu lahir, jadi, si jabang bayi juga yang dinamakan Kidang Telangkas juga diserahkan pada Syekh Maulana Mahgribi. Nantinya masa datang, dengan cara turun temurun, keturunan Kidang Telangkas jadi raja di tanah Jawa.
Kembali pada perbincangan sengit pada Dewi Rasa Wulan dengan Syekh Maulana Maghribi, waktu itu, nyatanya kemaluannya yang dicabut beralih bentuk jadi sebilah mata tombak — yang pada akhirnya jadi " sipat kandel " (senjata andalan) dari raja-raja Jawa. Serta tombak itu diberi nama Khanjeng Kyai Plered.
Sekarang ini Khanjeng Kyai Plered itu adalah satu diantara senjata pusaka Keraton Yogyakarta.
Tetapi dalam perbincangan lain, tombak Khanjeng Plered, yang asli sudah raib serta dipunyai oleh seseorang Waliyulloh Kamil, yang turun temurun senantiasa dijaga serta dirawat dengan cara baik, karena hal sejenis ini telah jadi pengetahuan Waris untuk pakar generasi sesama Waliyulloh " Dimana hak yang terlahir dari seseorang waliyulloh, jadi, bakal kembali pada hak sederajat yang lain " Juga seperti maqolahnya Rosululloh SAW : " Sebenarnya hak warisku bakal tercukupi oleh keturunanku nantinya, serta tidak ada kuberikan pengganti terkecuali yang mengertiku, jadi sambutlah pemberianku sampai anda menggantikanku "
" Tiap-tiap yang saya punyai (bekas peninggalan hidup) yaitu sisi bentuk kasar yang tidak ada bermakna serta hakikat sesungguhnya yaitu kembali pada yang mempunyai, jadi peliharalah apa sebagai izin langsungku sampai kau nikmati dengan apa yang sebenarnya kau mengerti "
Sumber : Prabuningrat (Misteri)