PARAMESWARA RAJA PENDIRI KERAJAAN MALAKA
Seperti kata seorang pelaut terkenal yang bernama DUARTE BARBOSA “He who is lord of Malcca has his hand on the throat of Venice” (Siapapun yang menguasai Malaka, maka dia dapat menguasai perdagangan dunia).
Pada rubrik Jelajah Misteri edisi 392 telah dikisahkan sedikit tentang Parameswara yang melapaskan tahtanya sebagai raja di Sriwijaya.
Kali ini Misteri ingin mengisahkan perjalanan panjang Parameswara dalam mendirikan sebuah kerajaan Islam yang baru dan diberi nama Kasultanan Malaka. Selamat mengikuti!
SEJARAH MALAKA
Kesultanan Malaka adalah kesultanan Melayu Islam yang terdapat di wilayah penyempitan selat di Semenanjung Melayu. Sejak zaman Sriwijaya, Semenanjung Melayu merupakan tempat yang sangat trategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur.
Setiap harinya kapal-kapal dari negeri asing berdatangan dan singgah di sana. Tentu saja kedatangan para pelaut-pelaut asing tersebut membuat Semenanjung Melayu tersebut menjadi wilayah yang tumbuh dengan pesat.
Hal itu terjadi karena para pelaut-pelaut asing tersebut datang dengan membawa berbagai macam barang-barang yang mereka dagangkan. Maka jadilah Semenanjung Melayu (diwilayah bagian Malaka) menjadi sebuah pelabuhan sekaligus Bandar Raya.
Banyak negeri-negeri lain yang menginginkan Semenanjung Melayu masuk dalam wilayah kekuasaannya, mengingat wilayah Semenanjung Melayu merupakan tempat yang sangat strategis bagi jalur perdagangan antara barat dan timur.
Namun apa daya, angkatan perang kerajaan Sriwijaya sangat kuat dan susah ditaklukkan kala itu. Apalagi Raden Sri Pakunalang sebagai Panglima Tertinggi pada masa Ratu Dewayani dan Raja Cudamaniwarnadewa berkuasa sangat ahli akan stategis perang.
Tak hanya negeri-negeri lain yang ingin menguasai Semenanjung Melayu, penduduk asli pun sangat ingin memerdekakan tanah kelahirannya. Akan tetapi setiap daya dan upaya mereka selalu saja gagal ditangan prajurit-prajurit kerajaan Sriwijaya.
Hingga pada masa Raja Sri Sanggranawijayatunggawarman berkuasa di Sriwijaya. Semenanjung Melayu lepas dari tangan Sriwijaya. Uniknya Semenanjung Melayu merdeka berkat kerja keras seorang mantan raja Sriwijaya.
Parameswara namanya atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah, ketika beliau telah memeluk agama Islam. Berhasil merebut Semenanjung Melayu dari tangan Sriwijaya, dan mendirikan sebuah kerajaan Islam yang diberinama Kesultanan Malaka.
Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah menjadi raja pertamanya dengan gelar Sultan Iskandar Syah. Pada masa kepemerintahannya, Malaka mengalami masa kejayaan. Negeri Malaka menjadi negara Islam yang makmur.
Dengan Panglima tertinggi, Panglima Tuan Junjungan serta si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Negeri Malaka selalu berhasil mengalahkan para penjajah seperti negeri Siam dan Majapahit. Dan tak ketinggalan juga jasa seorang laksamana angkatan laut bernama Hang Tuah.
Dikarenakan suatu hal, Sultan Iskandar Syah memutuskan kembali ke Lembang Melayu (Palembang). Kala itu Sriwijaya masih ada, namun tidak memiliki kedaulatan. Kemudian kedudukan raja digantikan oleh penerusnya dengan gelar Sultan Mayat Iskandar Syah (1414-1424 M).
Pada tahun 1424 M, Kesultanan Malaka di perintah oleh Sultan Muhammad Iskandar Syah. Pada masa kepemerintahannya, Malaka semakin maju sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dari berbagai negeri. Sultan Muhammad Iskandar Syah digantikan oleh putera bungsunya yang bernama Parameswara Dewa Syah.
Parameswara Dewa Syah menjadi raja dengan gelar Sultan Abu Syahid. Namun, ia hanya memerintah Malaka hanya satu tahun saja (1445-1446 M). Parameswara Dewa Syah terbunuh dalam perebutan kekuasaan oleh sepupunya yang bernama Mudzaffar.
Ia memerintah Malaka dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah (1446-1458 M). Kemudian ia digantikan puteranya yang ketika naik tahta bergelar Sultan Mansyur Syah (1458-1477 M). Kesultanan Malaka kemudian dipimpin oleh Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488 M).
Pada tahun 1488 M, Malaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Sayangnya Sultan Mahmud Syah sangat mewarisi sifat kakek buyutnya (Sultan Mudzaffar Syah) yang tamak dan serakah. Tahun 1509 M, Diego Lopez de Sequiera dari kerajaan Portugis tiba di Malaka dengan rombongan sebanyak 18 kapal. Rombongan dari Portugis (Portugal) ini merupakan rombongan orang Eropa pertama yang tiba di Asia Tenggara.
Sayangnya, kelakukan orang-orang Eropa ini sangat tidak terpuji. Mereka sering berbuat onar terutama mengganggu para gadis. Atas usulan penasehat kerajaan, maka Sultan Mahmud Syah memerintahkan prajuritnya untuk mengusir orang-orang Eropa tersebut dan berhasil menangkap 20 orang dari mereka.
Pada 10 Agustus 1511, armada laut Portugis yang besar dari India menyerang Malaka. Armada perang yang beasr tersebut di pimpin oleh Alfonso d’ Albuquerque. Terjadilah peperangan selama 10 hari hingga akhirnya Malaka jatuh ketangan Portugis.
Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke pantai timur Semenanjung Melayu, tepatnya daerah Pahang. Maka habislah sudah masa Kesultanan Malaka yang dibangun oleh Parameswara.
PERJALANAN MENUJU NEGERI BARU
Konon Bukit Jempol, merupakan tempat yang bersejarah dalam usaha merebut dan membangun Malaka. Di bukit Jempol-lah Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah mendapat petunjuk dari Sang Maha Pencipta sebelum menuju wilayah di Semenanjung Melayu itu.
Setelah meninggalkan ibukota Sriwijaya, Parameswara beserta pengikut-pengikut setianya berangkat menuju Bukit Jempol menaiki sebuah kapal yang sangat legendaris yang bernama Kapal Lancang Kuning.
Berangkat dari sungai Musi hingga memasuki sungai Lematang. Rombongan Parameswara dikawal oleh sosok gaib Ratu Sangklang beserta buaya-buaya siluman yang merupakan prajurit-prajuritnya.
Setibanya di Bukit Jempol, Parameswara bertemu sosok gaib Dhapunta Hyang (ada kisah yang menceritakan bahwa Bukit Jempol merupakan candi yang dibuat Parameswara ketika menjadi raja di Sriwijaya. Candi alami tersebut sengaja dibuat atas permintaan sosok gaib Dhapunta Hyang sebagai tempat pertapaannya).
Setelah mendapatkan wejangan dari sosok gaib yang pernah menjadi gurunya itu, Parameswara beserta rombongan, berlayar menuju Timur Tengah. Kepergian Parameswara diiringi hingga ke lautan lepas oleh puluhan kapal angkatan laut Sriwijaya. Banyak rakyat Sriwijaya yang menangisi kepergian mantan Raja Sriwijaya itu.
Dalam perjalanan menuju Timur Tengah, Parameswara beserta rombongan, singgah di Temasik (Singapura) untuk beberapa waktu. Di Temasik, Parameswara dan kapal perangnya dari angkatan laut kerajaan Sriwijaya, sebanyak delapan buah yang bersenjatakan lengkap. Mereka merapat di perairan dangkal.
Ternyata di dalam salah satu kapal tersebut, terdapat salah seorang yang tidak asing lagi bagi Parameswara ketika dirinya menjadi raja di Sriwijaya. Dan orang tersebut adalah Panglima Jairo.
Panglima Jairo menceritakan pada Parameswara, bahwa kini telah diangkat raja baru yang bergelar Raja Sri Sanggramawijayatunggawarman. Tapi sayangnya, raja yang satu ini hanyalah sebagai boneka. Dan kendali pemerintahan di pegang sepenuhnya oleh para menteri.
Parahnya lagi, para menteri tersebut memiliki tujuannya masing-masing tanpa memikirkan negera dan rakyatnya. Panglilma Jairo pun bercerita panjang lebar pada orang yang masih dianggapnya sebagai rajanya yakni Parameswara.
Hati Parameswara terasa perih mendengar cerita dari Panglima Jairo yang baru saja diangkat sebagai Panglima Tertinggi menggantikan Raden Sri Pakunalang yang mengikuti jejak gurunya (Wali Putih) melanglang buana menyebarkan ajaran-ajaran Islam.
Walau tidak begitu lama memerintah di Sriwijaya, namun negeri Sriwijaya sangatlah dicintainya. Namun ada satu hal yang lebih menyakitkan terutama bagi Panglima Jairo. Panglima Jairo diutus oleh Raja Sriwijaya untuk memburu Parameswara yang menurut para menteri dapat menjadi ancaman bagi kerajaan Sriwijaya.
Mendengar cerita dari Panglima Jairo, tentu saja membuat Parameswara marah besar, terlebih ketika sang panglima mengatakan bahwa dirinya saat ini sedang dalam tugas untuk memburu dirinya beserta para pengikutnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mungkin dilakukan bagi seorang Panglima Jairo.
“Palinglima Jairo, kini aku telah dihadapanmu. Mengapa kau belum menjalankan tugas dari rajamu?” Tanya Parameswara dengan nada yang halus.
Tiba-tiba Panglima Jairo bersujud sambil menitikkan air mata. Dia berkata; “Maafkan diriku Tuan Raja. Bagiku Tuan masih rajaku, Raja Sriwijaya.”
Parameswara menjadi terharu mendengar perkataan Panglima Jairo. Terlebih ketika dirinya melihat seluruh prajurit dan awak kapal ikut bersujud dihadapannya tanpa terkecuali. Melihat keadaan tersebut Parameswara berkata.
“Panglima Jairo....Tinggallah dulu disini beberapa hari sambil memikirkan langkah selanjutnya.”
“Baiklah Tuan Raja.” Ucap Panglima Jairo.
Setiap malamnya, Parameswara menjalankan shalat Tahajjud memohon petunjuk-Nya. Pada hari ke-3 usai shalat Tahajjud, Parameswara bermimpi di datangi oleh gurunya yang berjulukan Wali Putih. Dalam mimpi itu Wali Putih berkata;
“Muridku....tundalah dulu niatmu ke Baghdad untuk berguru pada saudaraku. Saranku, pergilah ke Semenanjung Melayu. Tepatnya wilayah yang terdapat penyempitan selat dan tumbuh pepohonan yang disebut oleh penduduk setempat dengan sebutan Malaka. Agama Allah telah masuk disana, Insya Allah kau akan berhasil.”
Setelah bermimpi aneh tersebut, Parameswara beserta panglima-panglima setianya juga Panglima Jairo segera menyusun rencana. Setelah melalui diskusi yang cukup lama, maka Parameswara memutuskan, bahwa Panglima Jairo beserta armada perangnya kembali ke Ibukota Sriwijaya dan melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan dirinya.
Akan tetapi, Panglima Jairo menolak dengan penuh rasa hormat. Dan berkata; “Biarlah saya pulang dengan dua kapal saya. Kapal yang lain beserta prajurit ikut Tuan Raja dalam usaha merebut Semenanjung Melayu nanti.”
“Benar Tuan Raja. Kita butuh kapal-kapal itu.” Ujar Panglima Tuan Junjugan yang menyambung ucapan Panglima Jairo.
Akhirnya Parameswara menyetujui rencana panglima-panglima itu. Panglima Jairo kembali ke Sriwijaya dengan alasan mereka berhasil dikalahkan Parameswara beserta pengikutnya. Sedangkan enam kapal lainnya berangkat menuju Semenanjung Melayu bersama Parameswara.
Setibanya dikota Raya, Panglima Jairo segera menghadap dan melaporkan kegagalannya dalam memburu Parameswara. Untunglah Raja Sanggramawijayatunggawarman adalah sosok raja yang berhati lembut. Mendengar kegagalan Panglima Jairo, sang raja hanya berkata, “Dia (Parameswara) memang orang yang hebat dan juga sakti.”
Parameswara beserta pengikutnya yang telah bertambah jumlahnya, segera menuju Semenanjung Melayu. Keenam kapal perang yang tersebut, berhenti di suatu tempat di Semenanjung Melayu. Sedangkan kapal Lancang Kuning yang membawa Parameswara, meneruskan perjalanan menuju wilayah yang kelak bernama Malaka.
Namun diperjalanan, kapal Lancang Kuning dihadang dua buah kapal yang ternyata adalah kapal para perampok yang sering merampok para pelaut dan menjadi buruan-buruan tentara Sriwijaya.
Mengetahui perjalanannya dihadang oleh perampok, Parameswara segera melompat ke salah satu kapal perampok tersebut dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Dengan ilmu-ilmu kanuragan miliknya, para perampok itu dihabisinya semua. Sedangkan para perampok di kapal yang lain dibantai oleh si kembar Panglima Bagus Karang dan Panglima Bagus Sekuning. Yang konon mampu berubah wujud menjadi macan kumbang (Panglima Bagus Karang) dan macan loreng (Panglima Bagus Sekuning).
Ternyata aksi Parameswara dan kedua pengikut setianya itu disaksikan oleh penduduk setempat yang rata-rata adalah nelayan. Mereka takjub melihat kesaktian Parameswara dan kedua pengikutnya itu.
Tanpa kesulitan yang berarti, Parameswara dan kedua panglimanya itu berhasil menumpas para perampok yang sering merasahkan para pelaut. Parameswara dengan kapal Lancang Kuningnya merapat di daratan. Mereka mendapat sambutan meriah dari penduduk di pesisir Semenanjung Melayu itu.
Parameswara pun berkenalan dengan para penduduk setempat yang dipimpin oleh seorang kepada adat. Dari kepala adat yang oleh penduduk mereka sebut dengan nama Hang Tuah. Di ketahui bahwa tamu yang datang ke tanah kelahiran mereka ternyata adalah mantan raja Sriwijaya, raja yang mereka cintai.
Dari Hang Tuah juga, Parameswara mengetahui bahwa kini peraturan Sriwijaya telah berubah. Para penduduk di setiap penjuru Sriwijaya harus membayar upeti yang tak terkira jumlahnya. Maka Hang Tuah meminta Parameswara memimpin mereka dalam upaya melepaskan diri dari Sriwijaya.
Singkat cerita, Parameswara memimpin para penduduk untuk melakukan pemberontakan. Dibantu oleh para prajurit dan kapal perang dari Panglima Jairo membuat rencana dan taktik yang dijalankan oleh mantan rajanya membuahkan hasil.
Semenanjung Melayu lepas dari tangan Sriwijaya, yang gagal meredam pemberontakan yang dipimpin Parameswara. Suatu hari, Parameswara sedang duduk-duduk bersama Hang Tuah disuatu tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan.
Tiba-tia dari balik pepohonan itu muncul ribuan ekor biawak yang terlihat sangat ganas. Setelah mengetahui bahwa biawak-biawak itu adalah makhluk gaib penunggu daerah tersebut, Parameswara segera mencabut sebilah keris. Keris Si Gentar Alam.
Kemudian ditancapkannya keris tersebut ke tanah sambil berucap dua kalimat Syahadat. Tiba-tiba terdengar gemuruh petir dengan kilat-kilat yang menyambar setiap siluman biawak tersebut.
Seusai peristiwa itu, Parameswara bertanya pada Hang Tuah; “Pohon-pohon apakah ini?”
“Pohon Malaka, Tuanku!” Jawab Hang Tuah.
Maka resmilah nama Malaka menjadi wilayah tersebut dan berdirinya sebuah pemerintahan. Kesultanan Malaka yang dipimpin oleh Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah (Sultan Iskandar Syah).
BUKIT JEMPOL PENINGGALAN RAJA SI GENTAR ALAM
Bukit Jempol yang terdapat di Kabupaten Lahat, memanglah terlihat sangat unik. Bukit yang terlihat seperti stupa candi itu merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya pada masa pemerintahan Raja Cudamaniwarmadewa (Parameswara).
Menurut dialog batin Misteri dengan sosok gaib Raja Cudamaniwarmadewa atau Parameswara atau Iskandar Zulkarnaen Alamsyah atau juga Raja Si Gentar Alam, bukit Jempol merupakan sebuah candi tempat dirinya berolah kanuragan sejak menjadi murid sosok gaib Dhapunta Hyang.
“Pada waktu-waktu tertentu kita dapat berjumpa dengan sosok Dhapunta Hyang di bukit jempol,” ucap sosok gaib Raja Si Gentar Alam pada Misteri.
Bukit Jempol juga tempat yang didatangi pertama kali ketika Parameswara kembali ke Swarna Dwipa (Sumatera) bersama isterinya yang dikenal dengan nama Puteri Rambut Selaka beserta pengikut-pengikut setia mereka.
Misteri yang melakukan dialog batin dengan sosok gaib Puteri Rambut Selaka mengetahui bahwa dibukit Jempol terdapat banyak peninggalan kerajaan Sriwijaya terutama pada masa kepemimpinan suaminya.
Seperti harta karun, naskah-naskah kuno (prasasti) yang ditulis pada dinding-dinding batu dengan huruf Palawa dan berbahasa Melayu Kuno. Namun ada juga yang bertuliskan huruf Arab gundul dan berbahasa Melayu Kuno.
Akan tetapi, semuanya itu terselimut gaib, mengingat banyak tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab yang siap mencuri dan menjual peninggalan-peninggalan sejarah Nusantara ini.
Tentu saja kita semua berharap, peninggalan-peninggalan dari sejarah Nusantara ini dapat kita pelihara dengan baik. Bukan diperjual-belikan ataupun menjadi milik negara lain. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah wawasan kita seputar sejarah orang-orang di masa lalu